Senin, 28 Maret 2011

Maestro I La Galigo Tutup Usia



Kematian. Tak seorang pun yang bisa mendeteksinya. Muhammad Salim, sang penerjemah lontarak I La Galigo yang menghentak dunia itu kini telah wafat. Ia kembali ke sang pencipta Ahad, 27 Maret pukul 18.30 WITA dalam usia 75 tahun. Lelaki yang menjadi tonggak sejarah kemunculan I La Galigo itu di semayamkan di kediaman pribadinya Jalan Adipura I, Lorong 3C, No. 31, Makassar.

Akhir pekan kemarin, Muhammad Salim melakukan ruti
nitas seperti biasanya. Larut dalam manuskrip I La Galigo. Menerjemahkan lontarak dalam bahasa latin dan melayu. Suatu kemampuan yang tidak semua orang dapan melakoninya. Sejak pagi kemarin, kata Hj Jamiah, sang istri, suamniya berlakon seperti biasa.

Suaminya bahkan sempat bolak balik ke Benteng Somba Opu untuk suatu acara. Tanpa ada keluhan. Semua aktivitasnya sampai detik-detik terakhirnya tidak memperlihatkan tanda-tanda kematian.

Muhammad Salim meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak. Mukanya masih basah dengan air wudhu menjelang kepergiannya. "Setelah wudhu untuk shalat maghrib, tiba-tiba dadanya sakit," kata anak keduanya, Hj Nurdina.

Karena sakit dada itu, Muhammad Salim kemudian memilih
berbaring pada tempat tidur yang ada di ruang kelurganya. Hj Nurdina sempat memegang kaki sang ayah, yan ternyata sudah dingin. Dan istrinya , Hj Jamiah duduk di sampingnya. "Saya bacakan Yasin, dan Bapak benar-benar sudah wafat," sebutnya.

Kini Muhammad Salim akan menjadi lembaran sejarah yang tidak terpisahkan dari keberadaan lontarak I La Galigo. Sayang kemahirannya tidak seorangpun anaknya yang mewarisi. Naskah asli I La Galigo yang banyak bertumpuk di ruangan kerjanya hanya akan terkurung dalam manuskrip tua yang perlahan menuju kepunahan.

Hj Jamiah mengatakan, dari 12 jilid naskah I La Galigo baru dua jilid yang telah di terjemahkan. Itu pun membutuhkan waktu lima tahun dua bulan untuk menerjemahkannya.
Jenazahnya akan dibawa ke peristirahatan terakhirnya Senin hari ini, pukul 10.00 WITA ke Desa Allakkuang Kabupaten Sidrap.

-------------------------------------------------------------------------------------------------
Muhammad Salim telah tertarik pada I La Galigo sejak masih kecil. Putra Sidarap yang lahir di Allakkuang, 4 Mei 1936 silam ini selalu terpikat saat Sureq I La Galigo di dendangkan oleh sesepuh di kampungnya yang masih memahami bahasa Bugis Kuno. Sureq I La Galigo mengisahkan penciptaan dunia versi Bugis purba.

Tokoh sentral dari kisah ini adalah Sawerigading, putra penguasa dunia tengah, ksatria sakti mandraguna dan seorang pengelana. Sementara I La Galigo merupakan salah satu putra Sawerigading yang mewarisi kesaktian dan jiwa pengembara sang ayah.

Kisah Sawerigading yang begitu fantastis membuat Salim terus mencari dan mengumpulkan naskah-naskah yang ada. Namun bukan pekerjaan yang mudah menyusun kisah itu. Bayangkan saja, manuskrip lontarak I La Galigo terpencar di desa-desa di Sulsel.

Untung saja, kerja keras Salim mengejar naskah-naskah I La Galigo ini, diketahui pihak Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal Leiden (KIVTL), Belanda. Pihak perpustakaan kemudian mengundang Salim ke Belanda untuk menerjemahkan tumpukan naskah I La Galigo yang juga tersimpan disana.

Manuskrip I La aligo di Leiden merupakan naskah yang disusun oleh Arung Pancana Toa yang kemudian dibawa oleh Dr B.F Matthes ke Belanda pada masa kolonial. Pada 1987, Salim terbang ke Belanda.

Di perpustakaan KITVL, Salim memulai misinya menerjemahkan lontarak I La Galigo yang oleh orang-orang Bugis masa kini, mungkin sudah susah di artikan. Bagi dia sendiri, bahasa Bugis terbagi pada tiga klasifikasi, yaitu Bugis Pasaran, Bugis Podium, dan Bugis Lontarak.

Di Leiden, Salim hampir menghabiskan waktu dua bulan. Meski seluruh biaya hidupnya selama di Leiden di tanggung oleh pihak Kerajaan Belanda, kerja Salim tetap saja tidak mudah. Bagaimana tidak, sekitar 200 lembar lontarak sudah rusak parah. Mikrofilm yang dipakai untuk memperjelas huruf-huruf yang sudah berusia kurang lebih 1.5 abad itu pun sudah tidak terlalu banyak membantu. Akhirnya, pihak perpustakaan melakukan autopsi huruf.
Saat itu, Salim memperkirakan terjemahan akan memakan 1500 lembar kertas folio. Salim lalu kembali ke Makassar dengan membawa kopian Sureq.


sumber : Harian Fajar, Senin 28 Maret 2011 halaman 1 (lanjutan di halaman 11)